Oleh:
Bambang Fouristian
Jelang Pileg
(Pemilihan Legislatif) periode 2014-2019, Parpol (Partai Politik) peserta
Pemilu sudah mulai melakukan rekruitmen Caleg (Calon Legislatif). Namun sangat disayangkan,
sistem rekruitmennya sangat minim idiologi. Para pengurus Parpol lebih
mengutamakan popularitas yang tak memiliki pendidikan politik.
Pola rekruitmen
asal-asalan terjadi juga di Kab. Garut. Dampak negatif, hal tersebut dapat
dilihat dari rendahnya kepekaan para anggota DPRD periode 2009-2014 terhadap
masalah yang terjadi di masyarakat.
Kini, momentum
Pilbup (Pemilihan Bupati) periode 2014-2019, dipakai ajang penciteraan dan
tebar pesona para Calon Legislatif dari seluruh Parpol pengusung maupun
pendukung.
Baik itu incumbent maupun wajah-wajah baru
yang siap meramaikan dan bertarung untuk memperebutkan 50 buah kursi yang
tersedia di gedung rakyat Garut.
Berkaca pada Pileg
periode 2009-2014, sebanyak 60% diduduki wajah-wajah baru. Begitupun pada Pileg
2014-2019, tak ada jaminan incumbent bisa duduk kembali menjadi anggota DPRD.
Tinggal bagaimana
cara mereka bisa kembali meraih simpatik calon pemilih (masyarakat) yang nota
bene kurang percaya karena janji-janji mereka saat kampanye banyak yang tidak
terpenuhi. Artinya, mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan
kelompoknya saja.
Momen tersebut
tentu saja dimanfaatkan oleh para pendatang baru melalui pertemuan-pertemuan
dengan para tokoh sekaligus menemui secara langsung kepada calon pemilih.
Disini, masyarakat
dituntut piawai dalam menentukan calon DPRD yang benar-benar pro rakyat. Jangan
tergiur politik transaksional yang hanya untuk kepentingan sesaat saja.
Strategi
Parpol dan Caleg
Kompetisi antar Partai Politik (Parpol) dan Calon
Legislatif (Caleg) akan semakin panas dan ketat untuk merebutkan kembali suara
rakyat di-tengah kecenderungan apatisme politik dan golput. Terlebih apabila
muncul berbagai produk kompetitif berupa konsep, program solutif serta gagasan
unik yang ditawarkan oleh rival-rival parpol atau caleg lainnya.
Karenanya dibutuhkan sebuah strategi yang baik dalam
berkampanye berupa Strategi Pemasaran. Dulu dikenal dengan istilah marketing yakni
produk sebagai raja. Salah satu ciri dari era ini adalah terjadinya komunikasi
hanya satu arah. Artinya, masyarakat tidak diberi ruang untuk komentar atau
memberi tanggapan. Dengan cara membagi-bagi brosur kepada calon pemilih.
Sementara itu di era teknologi komunikasi strategi itu
Nampak sudah tak berlaku. Karena masyarakat mulai jenuh dengan banjirnya brosur
dan iklan dimana-mana. Lalu, internet telah merubah perilaku pasar
menjadi horizontal, yang dulu sangat percaya dengan brosur, sekarang di era
teknologi mereka juga butuh “ komentar.” Dikenal dengan sebutan masyarakat
sebagai raja.
Salah satu ciri dari era ini adalah terjadinya
komunikasi dua arah, konsumen diberi ruang untuk memberikan komentar/ tanggapan
demi kepuasan dan kesetiaan.
Untuk
itu, Parpol dan Caleg jangan
selalu berfikir bisa meraih perolehan suara dalam skala besar. Tapi, berusaha
menggarap kantong-kantong suara yang selama ini belum tersentuh. Seperti, calon
pemilih yang berada di perumahan menengah dan elit.
Alasannya, bisa jadi mereka tidak terlibat (apatis)
dan ketidaktahuan akan Parpol/Caleg mana yang akan mereka pilih. Untuk orang
seperti ini, hanya perlu mendidik mereka dan berdialog serta tim sukses atau
kader partai bisa melakukan dari mulut ke mulut (Word of Mouth) untuk menanamkan imej yang baik
kepada masyarakat tentang Parpol/Caleg yang diusung.
0 komentar:
Posting Komentar