Catatan:
BANG F
BERANGKAT dari
amanah Undang Undang Dasar 1945, Program perubahan sistem pendidikan Nasional
terus menggelinding mengikuti perkembangan zaman. Perubahan demi perubahan
terus dilakukan.
Sejak era
reformasi, sistem pendidikan juga kembali mengalami perubahan, bahkan hingga
sampai pada akhirnya program sekolah gratis pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sederajat. Implementasi dari program ini, maka Pemerintah
juga telah membuat keputusan bahwa 20 persen dari APBN dan APBD diperuntukkan
bagi dunia pendidikan.
Tapi nyatanya,
program sekolah gratis ini masih diwarnai kerancuan. Hampir ditiap saat dan
waktu pemerintah selalu menyerukan bahwa sekolah gratis telah terlaksana dengan
baik. Tapi apa yang terjadi di lapangan?
Sadar atau tidak
sadar, ungkapan jaminan kelancaran pelaksanaan sekolah gratis telah mencoreng
wajah pemerintah ditengah masyarakat. Karena realitanya di lapangan, sekolah
gratis yang dijanjikan itu tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat.
Sekolah
gratis bagi seluruh anak didik SD dan SMP, di wilayah Kabupaten Garut, ternyata
hanya slogan dan isapan jempol belaka. Bagaimana tidak, para pelaku pendidik
masih banyak yang melakukan pungutan-pungutan uang serta jual dedet buku.
Tumbuh
suburnya beberapa pungutan di-tingkat SMP, dengan dalih sumbangan pendidikan
untuk sarana prasarana gedung bangunan (infaq), biaya ekstra-kurikuler,
computer, internet dan yang lainnya. Itu semua terjadi saat menjelang
Penerimaan Siswa Baru (PSB).
Lalu,
di tingkat SD, guru kelas atas persetujuan Kepala Sekolah (Kepsek), menjual
dedet berbagai macam buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Selain itu, si-anak
diwajibkan membuat kerajinan serta makanan dengan menelan biaya cukup besar.
Hal
tersebut diperburuk lagi adanya para pengawas TK/SD dan Kepala Unit Pelaksana
Teknis Daerah (KUPTD), bisnis buku pelajaran agar dibeli oleh pihak sekolah.
Kepala Sekolah tak berkutik dibuatnya, mereka menerima saja kendati dalam hati
kecilnya merasa keberatan.
Tugas,
pokok dan fungsi (Tupoksi) guru, berubah haluan 180 derajat. Betapa tidak,
lingkungan sekolah dipakai ajang bisnis tenaga pendidik untuk meraup keuntungan
pribadi. Menggunakan fasilitas sekolah (ruang kelas) digunakan belajar diluar
jam pelajaran, tanpa memberikan kontibusi finansial kepada sekolah.
Selain
itu, menjual baju olahraga, pramuka dan batik ikut menghiasi persaingan bisnis
dikalangan para pendidik. Penomena menggelikan ini sudah berlangsung sejak
pemerintah memberlakukan sekolah gratis.
Ironis memang, karena di satu sisi pemda telah mencanangkan program pendidikan gratis dan di sisi lain pemerintah telah mengalokasikan anggaran di setiap sekolah untuk membiayai semua kebutuhan operasional sekolah.
Pihak sekolah biasanya berdalih bahwa
semua pungutan tersebut merupakan persetujuan orang tua siswa melalui Komite
Sekolah, padahal yang terjadi sebenarnya adalah adanya praktik Kolusi antara
pihak sekolah dan Komite Sekolah untuk melegalkan pungutan itu.
Seharusnya, jika serius ingin
melaksanakan program pendidikan gratis maka ketika mengetahui ada sekolah
melakukan pungutan kepada siswa maka pemda harus memberikan saksi tegas kepada
kepala sekolah dan guru di sekolah bersangkutan.
Tetapi selama ini pemda terkesan
mendiamkan saja, meski pungutan itu sudah dikeluhkan orang tua siswa. Akibatnya,
pihak sekolah semakin berani melakukan berbagai pungutan kepada siswa dengan
dalih telah disetujui Komite Sekolah.
Terkait
hal tersebut, Dinas Pendidikan Kabupaten bisa peka untuk memberikan sanksi bagi
para pelaku pendidik yang nyata-nyata telah keluar dari tupoksi-nya. Jangan
biarkan praktik jual dedet buku pelajaran dan pakaian tumbuh subur dikalangan
pendidik, hingga melupakan kewajibannya selaku pengajar.-
1 komentar:
realisasi pemaparan diatas benar-benar nyata di depan mata, dan bukan merupakan hal yang kasat mata, tapi mungkin karena tertutup kaca mata, yang nyata seperti tiada,semoga renungan diatas bisa membuat terbuka mata dengan membuka kaca mata, bagi para pelaku yang sedang berjaya tahta,sebelum terlanjur buta dan menutup mata
Posting Komentar